Kecamatan Sawoo
Kantor Kecamatan Sawoo berada di Desa Prayungan
Perempuan Penunggang Kuda
Acara rutin setiap memperingati hari Kemerdekaan 17 agustus 1945 Kecamatan Sawoo selalu mengadakan kirab pusaka "Dhara Manggala" yang diiringi dengan drumband SMA Bakti Ponorogo
Mayoret Drumband SMA Bakti Ponorogo
Acara rutin setiap memperingati hari Kemerdekaan 17 agustus 1945 Kecamatan Sawoo selalu mengadakan kirab pusaka "Dhara Manggala" yang diiringi dengan drumband SMA Bakti Ponorogo
Pusaka "Dhara Manggala"
Pusaka "Dhara Manggala" adalah pusaka Sunan Kumbul yang berada di Petilasan yang akan dikirabkan menuju ke Kantor Kecamatan Sawoo
Kereta Kuda Bapak Bupati Ponorogo
Dalam memperingati Acara Kirab Pusaka "Dhara Manggala" di Kecamatan Sawoo juga di hadiri Bapak Bupati Ponorogo yang ikut menunggangi kereta kuda
Tampilkan postingan dengan label Pemkab Ponorogo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemkab Ponorogo. Tampilkan semua postingan
Senin, 16 September 2019
Rabu, 02 Januari 2019
Kamis, 14 September 2017
Senin, 10 Oktober 2016
Iwan Fals Tanam Pohon di Area Air Terjun Plethuk Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo
09.23.00
Air Terjun Plethuk, Iwan Fals, Kabupaten Ponorogo, Konser Budaya Bersama Iwan Fals, Pemkab Ponorogo, Sawoo
No comments
Musisi legendaris Iwan Fals ramaikan acara tahunan konser budaya
sebagai penutupan perayaan Grebeg Suro 2016 dan Festival Nasional Reyog
Ponorogo. Dalam konser budaya tersebut berlangsung sangat meriah, ribuan
pasang mata hadir dari berbagai daerah,
Keesokan harinya Rabu (5/10/2016) setelah konser Iwan Fals dengan
didampingi Bupati Ponorogo Drs.H. Ipong Muchlissoni lakukan kunjungan ke
lokasi wisata air terjun Pletuk desa Jurug Kecamatan Sokoo Ponorogo
untuk lakukan penanaman pohon.
Bupati Ponorogo dalam hal ini menyambut baik acara penanaman pohon
yang dilakukan Iwan Fals, karena dinilai akan menumbuhkan kesadaran
masyarakat umum untuk peduli lingkungan dengan melakukan penaman Pohon
untuk mengurangi bencana alam yang tidak diinginkan.
” dengan penanaman Pohon yang dilakukan bang Iwan ini semoga dapat
menambahkan kesadaran masyarakat umum untuk selalu menjaga lingkungan
dengan lakukan penanaman pohon kembali” ungkapnya.
Sementara itu Iwan Fals sang musisi legendaris ini mengharapkan
dengan penanaman pohon kembali (reboisasi) mampu menjaga keseimbangan
alam.
“Terimakasih sudah diundang untuk turut memeriahkan Grebeg Suro tahun
2016, semoga tahun depan bisa diundang lagi, untuk penanaman pohon ini
saya harapkan mampu menjaga keseimbangan alam”
.ungkapnya.(K.O.M.I.N.F.O)
Minggu, 14 Agustus 2016
Inilah 21 Nama Yang Lolos Seleksi Lelang Jabatan Kepala Dinas di Pemkab Ponorogo
AGUS PRAMONO, Sekdakab Ponorogo
Setelah ke 48 orang yang mengikuti lelang
jabatan, keluar 21 nama yang akan mengisi tujuh jabatan.Yaitu untuk
jabatan kepala Dinas Kesehatan, kepala Dinas Pendidikan, kepala Dinas
Pekerjaan Umum, kepala Dinas Perhubungan, kepala Badan KB, Sekretaris
DPRD dan dikertur RSUD Harjono Ponorogo. Ke-21 orang tersebut
menyingkirkan 27 kandidat lain yang bersaing dalam seleksi ini.
Tiga nama di peringkat tertinggi di masing-masing jabatan ini
nantinya akan disodorkan kepada bupati sebagai pejabat pembina
kepegawaian. Belum tentu pencapai nilai tertinggi yang akan menjadi
kepala SKPD yang kini kosong dari jabatan definitif tersebut.
Ke 21 nama yang lulus seleksi dalam lelang Jabatan Pemkab Ponorogo
Calon Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes)
1. drg Rahayu Kusdarini
2. dr Yayuk Dwi Wahyuni
3. dr Siti Robiah Tarwiati
Calon Kepala Dinas Pendidikan (Dindik)
1. Tutut Erliena
2. Pujianto
3. Bambang Supriyadi
Calon Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU)
1. Jamus Kunto Purnomo
2. Bambang Suhendro
3. Sunarti Aningsih
Calon Kepala Dinas Perhubungan komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo)
1. Djuanedi
2. Widodo Putro
3. Joko Waskito
Calon Kepala Badan Keluarga Berencana (BKKBN)
1. Harjono
2. Henry Indra Wardana
3. Akhmad Ghufron Fuadi
Calon Sekretaris Dewan (Sekwan)
1. Herry Sutrisno
2. Suko Kartono
3. Setiyo Wibowo
Calon direktur RSUD Dr Harjono
1. dr Made Keren
2. dr Agus Mulyanto
3. drg Santi Pratowo Hardianing
Sumber: http://kanalponorogo.com/
1. Jamus Kunto Purnomo
2. Bambang Suhendro
3. Sunarti Aningsih
Calon Kepala Dinas Perhubungan komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo)
1. Djuanedi
2. Widodo Putro
3. Joko Waskito
Calon Kepala Badan Keluarga Berencana (BKKBN)
1. Harjono
2. Henry Indra Wardana
3. Akhmad Ghufron Fuadi
Calon Sekretaris Dewan (Sekwan)
1. Herry Sutrisno
2. Suko Kartono
3. Setiyo Wibowo
Calon direktur RSUD Dr Harjono
1. dr Made Keren
2. dr Agus Mulyanto
3. drg Santi Pratowo Hardianing
Sumber: http://kanalponorogo.com/
Bupati Ponorogo Mendapat Gelar Kehormatan dari Keraton Surakarta Hadiningrat
10.51.00
Desa, Kabupaten, Kabupaten Ponorogo, Kecamatan Sawoo, Pemkab Ponorogo, Ponorogo, Sawoo
1 comment
Bupati Ponorogo saat menerima kakancing dari GKR
Kusmurtiyah Wulandari
Prosesi penganugerahan gelar (wisudan) bertempat di Pendopo Agung Kabupaten
Ponorogo dihadiri sejumlah perwakilan dari Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu
Pangageng Wilopo DR. KPH Edy Wirobumi beserta GKR Galuh Kencono, GKR
Sekar Kencono, GKR Kusmurtiyah Wandonsari, dan GKR Retno Dumilah bersama
keluarga Kraton Surakarta Hadiningrat dan Forkomimda Ponorogo.
Dalam prosesi tersebut, Pengageng Wilopo DR. KPH Edy Wirobumi,
menyampaikan, dengan adanya Penganugerahan Gelar ini bisa mengemban amanah
menjadi pengayom masyarakat.
“Diharapkan dengan adanya jalinan silaturrahmi ini nantinya akan
mendapatkan berkah dan anugerah dari Allah SWT, dengan adanya silaturrahmi ini
dalam dijadikan tonggak untuk menjaga budaya yang sudah ada dan Kraton
Surakarta Hadiningrat adalah contoh budaya yg harus tetap dijaga
kelestariannya,”ucapnya.
Sementara itu pangageng Wilopo GKR Kusmurtiyah Wulandari. selain
mengucapkan selamat dan salam sejahtera kepada semua yang hadir dalam kegiatan
ini juga berharap kegiatan ini bisa sebagai penyambung tali silaturrahmi yang
selama ini terputus, sehingga kedepan akan terjalin kembali hubungan yang
harmonis antara Kabupaten Ponorogo dengan Kraton Surakarta Hadiningrat.
Disebutkanya, telah tercatat di buku sejarah Paku Buwono ke II pernah berkunjung
ke Ponorogo tepatnya di Tegalsari menemui Kyai Kasan Besari dan Bupati Ponorogo
Suro Agul Agul pernah menjadi pemimpin pasukan Kraton Surakarta Hadiningrat
pada era Paku Buwono ke II.
“Maka dari niatan kita hanya untuk menjalin tali silaturahmi yang selama
ini belum terjalin dengan baik karena adanya ikatan sejarah antara Ponorogo
dengan Kraton Surakarta Hadiningrat,”urainya.
Bupati Ponorogo Ipong Muchlisoni dan istri bersama
pengageng keraton Surakarta Hadiningrat
Menurutnya, sampai saat ini Kraton Surakarta Hadiningrat merupakan kraton
yang masih lengkap baik budaya dan pemerintahannya, karena masih memegang teguh
budaya jawa.
Dalam prosesi tersebut juga dilakukan penyerahan kakancingan secara
simbolis oleh Pangageng Wilopo KPH Edy Wirobumi, kepada Bupati Ponorogo Ipong
Muchlissoni yang mendapatkan jabatan Santana Riya Nginggil dengan gelar dan
tambahan nama menjadi Drs Kanjeng Raden Ario Ipong Muchlissoni Adinegoro
beserta istrinya yaitu Sri Wahyuni yang mendapatkan jabatan (pangkat)
sebagai Bupati Riyo Nginggil dengan nama tambahan dan gelar Kanjeng Mas Ayu
Tumenggung Sri Wahyuni Widyaningtyas.
Dikatakan DR.KPH Edy Wirobumi,”saya sebagai ketua umum Paguyuban Pamong
Pakasa ingin menggabungkan Kraton Surakarta Hadiningrat dengan Kabupaten
Ponorogo, tetapi kita harus berbakti dan mengabdi kepada NKRI, karena Kraton
Surakarta Hadiningrat merupakan bagian NKRI yang memegang teguh Pancasila dan
UUD 1945,”ucapnya.
Suasana pendopo agung kabupaten Ponorogo saat prosesi
penganugerahan gelar kehormatan
Sementara itu, Bupati Ponorogo Ipong Muchlisoni usai acara mengatakan,”saya
sangat terkesan dan bangga dengan diberikannya gelar KRA kepada saya sehingga
saya akan meningkatkan kinerja dalam menjaga keutuhan NKRI. Sampai saat ini
kami masih menjaga dan mengembangkan budaya jawa dan memperjuangkan kebudayaan
tersebut, karena pada saat ini banyak budaya asing yang ingin melemahkan
kebudayaan jawa yang bersumber dari Kraton Surakarta Hadiningrat,”kata Bupati
Ipong.
Sumber: http://kanalponorogo.com/
Jumat, 25 Oktober 2013
Sejarah Reog Ponorogo
18.06.00
Kecamatan, Kecamatan Sawoo, Kesenian, Kesenian Sawoo, Kirab, Kirab Pusaka, Pemkab Ponorogo, Ponorogo, Sejarah Sawoo, Tentang Sawoo, Wisata
No comments
Sejarah dari kesenian Reog ini bermula pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan Majapahit pada abad ke-15 dimana pada masa itu kerajaan Majapahit dibawah kekuasaan Bhre Kertabhumi yang merupakan raja terakhir kerajaan Majapahit. Ki Ageng Kutu murka terhadap perilaku rajanya yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit tak lama lagi akan berakhir. Ia pun pergi meninggalkan kerajaan dan mendirikan sebuah perguruan Seni Bela Diri dengan harapan dapat memunculkan bibit-bibit yang dapat memegang kekuasaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukan yang dimilinya tidak mampu menandingi pasukan Majapahit maka pesan Politis Ki Ageng Kutu pun disampaikan melalui pertunjukan Reog. Pagelaran Reog dimanfaatkan Ki Ageng Kutu untuk membangun perlawanan masyarakat terhadap kerajaan.
Dalam pertunjukan kesenian Reog ini ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang biasa disebut “Singo Barong”, raja hutan yang menjadi simbol Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok. topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singobarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Dan akhirnya Reog Ki Ageng Kutu menyebabkan Kertabumi menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya
Karakter dalam Kesenian Reog Ponorogo
Singo Barong
Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit, namun kini jathilan telah berevolusi yang mulanya diperankan oleh para lelaki (Gemblak) kini jathilan diperankan oleh wanita.
Bujangganong
Pujangganong atau Bujangganong adalah penari dan tarian yang menggambarkan sosok patih muda ( Patihnya Klana Sewandana) yang cekatan, cerdik, jenaka, dan sakti. Sosok ini digambarkan dengan topeng yang mirip dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang besar tanpa taring, wajah merah darah dan rambut yang lebat warna hitam menutup pelipis kiri dan kanan.
Klana Sewandana
Klana Sewandana atau Klono : Penari dan tarian yang menggambarkan sosok raja dari kerajaan Bantarangin, kerajaan yang dipercaya berada di wilayah Ponorogo zaman dahulu. Sosok ini digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah berwarna merah, mata besar melotot, dan kumis tipis. Selain itu ia membawa Pecut Samandiman; berbentuk tongkat lurus dari rotan berhias jebug dari sayet warna merah diseling kuning sebanyak 5 atau 7 jebug.
Warok Suromenggolo. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal/punggawa raja Klana Sewandana (warok muda) atau sesepuh dan guru (warok tua). Dalam pentas, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan, digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat.
Minggu, 20 Oktober 2013
Versi Sejarah Kelahiran Reog Ponorogo
18.00.00
Kecamatan, Kecamatan Sawoo, Kesenian, Kesenian Sawoo, Kirab, Kirab Pusaka, Pemkab Ponorogo, Ponorogo, Sejarah Sawoo, Tentang Sawoo, Wisata
1 comment

Versi pertama, lahir dari imaginasi seorang seniman hasil pembacaan (perenungan) terhadap realitas kehidupan semesta. Dalam perspektif ini, Reyog lahir dari lukisan ide seorang seniman budaya yang meletakkan rasa bangga (takjub) nya terhadap harmoni kehidupan belantara. Kepala harimau dan burung merak yang menjadi perangkat utama dalam kesenian ini merupakan dua jenis binatang yang memiliki keistimewaan, baik dari aspek estetis maupun magisnya. Harimau sang binatang buas berkarakter liar dan ganas mendapat kehormatan sebagai sang raja hutan. Sementara burung merak merupakan binatang dengan karakter yang penuh pesona; cantik dan indah. Paduan kedua binatang berkarakter kontras tersebut, melahirkan paduan indah - sebuah karakter unik dalam sebuah kepribadian manusia, yakni kekuatan dan keindahan. Paduan inilah yang diharapkan lahir dari pribadi orang Ponorogo; berani, berwibawa, mampu memimpin, dan tetap dalam sikap yang santun dan menarik. Dengan demikian, versi sejarah Reyog ini, lebih cenderung menyampaikan pesan jatidiri dan identitas masyarakat Ponorogo sebagaimana diterangkan melalui simbolisasi kesenian Reyog ponorogo.
Versi kedua, lahir sebagai bias dari kepercayaan atau keyakinan masyarakat disaat animisme dan dinamisme tumbuh subur. Dalam kepercayaan masyarakat seperti ini, roh hewan yang telah mati sekalipun, bisa didatangkan kembali ke dunia seperti halnya keyakinan mereka tentang bisa kembalinya roh manusia yang telah meninggal. Sementara diyakini oleh mereka bahwa roh binatang yang paling kuat adalah roh harimau. Karena itu, dengan tujuan agar melindungi keselamatan mereka, roh itu diundang melalui upacara (ritual) adat; ritual pemanggilan roh. Pada perkembangan berikutnya, upacara adat itu memakai topeng kepala harimau dan kemudian dikemas melalui tari-tarian. Inilah dasar pijak versi kedua, sebagaimana tulis Hartono (1980), bahwa kesenian Reyog Ponorogo merupakan perkembangan lebih masak dari tradisi upacara adat tersebut.
Versi ketiga, lahir sebagai tanda jaman. Saat Ponorogo dilanda huru-hara (kekacauan, tidak aman) disebabkan terjadinya perseteruan antar kelompok masyarakat penganut msitik; kanuragan, ngelmu kasekten (ilmu kesaktian), sehingga mengarah pada pertikaian dan bahkan pembunuhan. Situasi tidak aman ini, selanjutnya melahirkan sebutan-sebutan atau istilah-istilah sebagai tanda jaman, dimana salah satunya istilah itu adalah reyog (berati riyeg, horeg, gonjang-ganjing). Seni Reyog yang lahir sesaat atau bersamaan dengan situasi tersebut mengambil ilustrasi semacambarongan (serumpun pohon bambu yang meliuk-liuk diterpa angin), hingga seolah-olah menggambarkan situasi kekacauan yang tengah terjadi dan melanda masyarakat saat itu.
Versi keempat, lahir sebagai lambang kemenangan Batharakathong atas Ki Ageng Kutu (Ki Demang Suryongalam). Dua binatang yang dipakai perangkat utama kesenian ini, dimaksudkan sebagai sebuah simbol dari dua karakter dua tokoh yang disebutkan. Harimau melambangkan perwatakan Ki Demang; penyerang, pemberontak, sedangkan burung merak melambangkan perwatakan Batharakathong; pembawa kedamaian, kesejukan, dan keindahan. Diduga pada saat itu juga tengah berlangsung proses islamisasi di Ponorogo yang dimobilisasi oleh Batharakathong, dengan satu bukti bahwa semenjak itu di atas kepala harimau (persis di paruh burung merak) ditambahkan kalung manik-manik semisal tasbih (alat menghitung bacaan dzikir)
Versi kelima, bertumpu pada mitos atau legenda. Legenda tentang lahirnya Reyog Ponorogo lebih dari satu jumlahnya, dimana kalau ditarik garis besar, semuanya mengandung falsafah atau tuntunan hidup yang diharapkan dapat menumbuhkan jiwa patriotik, sikap dan watak terpuji, dan sejumlah perilaku luhur yang lain.
Terlepas dari ragam sejarah Reyog Ponorogo, sebagaimana dipaparkan di atas, akan sangat arif manakala kita mau merenung sejenak untuk bersama-sama mengkritisi sejarah Reyog yang selama ini dipedomani. Sebagai falsafah atau tuntunan hidup bagi generasi bumi Reyog, sejarah yang berbau legenda memang cukup sarat makna. Namun, sebagai pembelajaran hidup bagi calon warok menuju pencerahan dan pencerdasan, akar sejarah Reyog Ponorogo yang bersifat ilmiah, sudah barang tentu juga sangat ditunggu kehadirannya.
Langganan:
Postingan (Atom)